Memangnya, Kata Siapa Kita Baik-Baik Saja?

dinda
3 min readSep 26, 2023

--

Art by byung jun ko on behance

Tulisan ini akan bersifat sangat subjektif, bukan untuk media massa ataupun dikaji secara sastra, hanya untuk memoar pribadi semata.

Tulisan ini berangkat dari perjalananku sebagai seorang penonton. Hal yang aku saksikan selama lebih dari 20 tahun jauh dari kata menyenangkan, bisa dibilang aku terpaksa menonton secara nyata hal yang mereka sebut dengan kekerasan. Catatan UNDP nyatakan bahwa 1 dari 3 atau 35 persen wanita di dunia telah alami kekerasan seksual maupun verbal. Aku rasa, ibuku, orang-orang di sekitarku sebenarnya adalah bagian dari persentase tersebut. Baik itu fisik, seksual, psikis, dan verbal, sudah jadi bagian dari hidupku, selalu ada di sekelilingku sejak aku belum paham kenapa mereka diperlakukan seperti itu. Meski sekarang pun rasanya aku masih sama saja, masih belum masuk ke dalam akalku mengapa tindak kekerasan itu ada, apa yang korban lakukan hingga pantas mendapatkannya?

Di usia sekarang ini, aku pikir sudah bukan zamannya kita bermain adu nasib. Orang yang kamu lihat hidupnya sempurna, mungkin separuh nyawanya hanya berisi sisa kepingan trauma. Temanmu yang tawanya paling lantang itu, hidupnya pernah hancur pada satu waktu tertentu. Sayangku, bukan hanya kita yang hidupnya sulit, bukan hanya kita yang kondisi jiwanya pernah sakit. Mereka yang tak pernah ceritakan bukan berarti tidak pernah merasakan. Pada dasarnya kita dan mereka semua hanya susunan luka lama yang dirakit dengan cara paling tidak sempurna.

Dulu, ibuku sering tidak pulang ke rumah dan aku sempat membencinya karena itu. Hatiku patah kala tahu semua itu karena ia takut dengan ayahku, walau pada akhirnya ia putuskan untuk berhenti lari dan katakan padaku bahwa ia sudah siap jika harus mati di tangan suaminya itu. Oh, ayahku bukan orang yang kasar, ia hanya bajingan gila yang sialnya punya istri dan keluarga. Pengakuan palsu di depan keluarganya bahwa aku adalah anak haram seakan jadi klimaks dari teror bertahun-tahunnya. Ia hilang begitu saja tanpa dapatkan hukuman yang setimpal. Ibuku tak pernah laporkan, hanya surat cerai yang ia inginkan. Entah mengapa ia begitu pemaaf padahal sampai sekarang pun aku masih berharap ayahku hidup dalam neraka. Aku tidak akan pernah maafkan jika iblis sepertinya dapatkan ruang di akhir hidup yang sentosa.

Aku kira, yang terjadi di masa lalu hanya cacat dalam internal keluarga, tapi setelah ikut kuliah dan jadi mahasiswa, rupanya tidak juga. Kekerasan dalam dunia intelektual nyatanya masih sama saja bodohnya. Bahkan lebih bodoh, karena mereka repot-repot buat lembaga demi formalitas yang sia-sia. Satuan tugas atau apalah itu, memangnya siapa yang tahu? Ujung-ujungnya korban dibiarkan menutup diri dan semua fokus pada urusan masing-masing pribadi. Aku ikut sesak kalau harus bayangkan takut yang buat mental tak hentinya tertekan, hatiku masih selalu patah lagi tiap harus kilas kembali derita yang dialami korban. Mungkin sudah saatnya sadar bahwa perihal pendidikan bukan hanya menyoal uang dan kecerdasan. Percuma bicara soal prestasi kalau pengajarmu sendiri masih harus jadi sosok yang diwaspadai, baiknya cukup tahu diri saja kalau moralitas lingkunganmu belum sepadan dengan nama lembaga; perguruan tinggi.

Aku tahu, kita sesama mahasiswa berakal mungkin ingin saling membantu, muak rasanya jika para pelaku lagi-lagi dapat hukuman yang buntu, tapi lihatlah para petinggimu itu, peduli apa mereka dengan hal yang tidak menguntungkan anak-cucu? Sekelas mahasiswa, bisa apa kalau sudah terbentur birokrasi yang tak manusiawi? Padahal, segala kekacauan ini bukannya alami keterbatasan modal, bukan juga masalah kapabilitas, orang-orang pintar itu bukan hanya pandai bermain uang dan politik saja. Mereka pandai dalam segalanya, terutama dalam berpura-pura untuk menutupi fakta bahwa mereka tak cukup pandai dalam beri ruang aman bagi orang-orang yang setiap harinya bertanya pada Tuhan; “sampai kapan aku harus bertahan untuk bisa dapat bantuan?”

Aku menulis ini sebenarnya tanpa tujuan, tapi mungkin sekadar pengingat ringan untukmu bahwa nyatanya kita tidak pernah cukup aman, di sekitarmu itu masih banyak kisah bengis berakhir tragis yang mungkin tak pernah kamu bayangkan, yang tak sempat lagi kamu saksikan karena telah dikuburkan dan hanya hidup selamanya dalam setiap langkah penghidupan para korban.

Semoga kita semua diwaraskan, semoga masih akan ada kesempatan untuk nyalakan lilin perayaan di atas misa kematian para satan.

--

--

dinda

i don't even know what im writing, honestly, i just want good grade and graduate.